Idealisme? dijaga atau di pajang saja?
Banyak orang disekitar kita yang
berbicara, “Bangun dan jaga idealisme, supaya itu yang menjadi pondasi hidupmu”.
Ada juga ungkapan, “Kuatlah seperti batu karang jika berhubungan dengan idealis,
dan mengalirlah seperti air jika berhubungan dengan fashion”.
Susahnya menjaga idealisme, akan
terasa jika sudah merasakan kehidupan bermasyarakat. Karena antara keinginan
dan realita, banyak yang tidak sesuai keinginan. Di satu sisi, kita sudah
membangun idealisme, tapi disisi lain, kita disuruh untuk berdamai dengan
realita. Tak jarang banyak orang yang meninggalkan idealisme mereka dan
menyerah dengan realita kehidupan. Tapi tak jarang yang berdarah-darah
mempertahankan idealisme. Jika begini, mau bagaimanakah kita? Mengikuti idealisme
yang sudah kita bangun, atau menyerah dengan realita. Pasti kebanyakan orang
menjawab, kenapa idealisme kita tidak kita buat fleksible dengan realita? Itu adalah jawaban dilematis yang memilih
jalan tengah karena terlalu takut mengambil resiko salah satu jawaban, karena pada
suatu kondisi, tidak semua idealisme mau menuruti realita, dan tidak semua
realita menuruti idealisme. Sehingga jawaban tengah tersebut, seperti mau lari
dari kenyataan, tapi dia masih enggan lari dari kenyataan.
Sebagai contoh, Galileo Galilei
yang mencoba mempertahankan idealismenya tentang tata surya. Galileo mengatakan
“matahari adalah pusat tata surya, bukan bumi sebagai pusat tata surya” dan hal
tersebut tertuang dalam karyanya “matahari centris” dan hal tersebut
bertentangan dengan keyakinan gereja saat itu yang sesuai dengan alkitabnya
mengatakan bahwa “Bumi adalah pusat tata surya, matahari mengelilingi bumi”.
Para tokoh agama pun mengkafirkan
Galileo, karena menentang ayat dalam kitab suci. Dengan tuduhan kafir, otoritas
tertinggi kemudian merasa terganggu dan berkewajiban memanggilnya. Vonis
terhadap Galileo dijatuhkan dan ia dikenai hukuman rumah karena dianggap telah
mengganggu keimanan umat. Lebih tragis ia di cap pemberontak dan dianggap
melecehkan kitab suci dengan membuat tafsir sendiri. Galileo sendiri dihukum
penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan.
Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo
meninggal dunia. Galileo, menurut pengakuan sejarahwan, memproklamirkan temuannya
berdasarkan eksperimentasi yang melelahkan secara saintis, pencarian yang tak
kenal henti dan tentu saja melewati berbagai pengamatan seputar fenomena alam
secara akurat. Ia menemukan, bahwa bumi tidak ‘tinggal’ diam melainkan terus
bergerak berotasi pada porosnya dan berevolusi di sekeliling matahari. Galileo
dituding hanya mementingkan rasio belaka, tanpa mengindahkan teks-teks kitab
suci tentang teori peredaran bumi dan matahari. Matahari sebagai pusat
peredaran bumi. Bukan sebaliknya. Namun para agamawan melihat dengan sisi lain;
gereja yang tidak ingin mengakui bahwa akal adalah nikmat terbesar pada diri
manusia. Galileo dijebloskan ke kezaliman mahkamah akibat ulah konspirasi buruk
gereja. Dengan sadis akhirnya Galileo diseret ke pengadilan dengan tuduhan
kafir dan tidak percaya Tuhan. Setelah disiksa mental dan fisiknya, Galileo
dipaksa untuk mengakui jika penemuannya itu salah besar. (https://kabarnet.in/2013/03/17/galileo-galilea-korban-konspirasi)
Tapi apa yang terjadi setelah
kematian Galileo Galilei? Benar saja, 200 tahun setelah kematian Galileo
(tepatnya pada tahun 1835) gereja Italia menyodorkan keputusan penting yang
berisi: “menghapus semua karya Galileo dari daftar buku terlarang,
membebaskannya dari segala fitnah yang dituduhkan, menghormati semua inovasi
yang merupakan kekayaan berlimpah yang disumbangkan kepada intelektualitas umat
manusia, dan menghormati semangat serta kontribusinya untuk kemajuan sains,
serta memohon maaf terhadap apa yang terlanjur dikatakan bahwa dirinya atheis
dan menentang nilai-nilai keagamaan”. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian
Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan
membenarkan Galileo. Demikianlah, manusia meminta maaf akan kekeliruan dan
kebodohannya sendiri terhadap hak kebebasan berfikir Galileo. Perlahan namun
pasti, Galileo kini memperoleh yang diimpikan banyak orang: prioritas, nilai,
dan juga penghormatan yang sesungguhnya. Sayangnya, semua didapatkan setelah ia
mati!. (https://kabarnet.in/2013/03/17/galileo-galilea-korban-konspirasi)
Sebenarnya masih banyak
contoh-contoh tokoh-tokoh (yang tidak mungkin diceritakan satu-satu) yang
berdarah-darah mempertahankan idealismenya, bahkan nyawa jadi taruhannya. Tapi ingat
juga, tidak sedikit bahkan beribu-ribu manusia, yang bahkan mungkin di sekitar
kita, yang kalah dengan realitas dan memajang idealisme. Kalau menurut pendapat
kalian, idealisme itu seharusnya dijaga atau dipajang saja? Jika dijaga, kalian
harus tahu konsekuensinya, jika dipajang saja, kalian juga harus tahu bagaimana
memajang idealisme yang baik dan benar di rak berkaca. Supaya bisa untuk
kenangan jika dulu punya idealisme. SEMOGA BERMANFAAT
Comments
Post a Comment