DAYA SAING SEMAKIN TINGGI, INFRASTRUKTUR INDONESIA MASIH SAJA TERPEROSOK
Daya saing
wilayah menunjukkan kemampuan suatu wilayah menciptakan nilai tambah untuk
mencapai kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada
persaingan domestik dan internasional. Pengembangan wilayah-wilayah di
Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing tersebut, walaupun
dalam pengembangannya menghadapi
permasalahan-permasalahan yang antara lain disebabkan kurang berkembangnya
sumber daya manusia yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan
rendahnya kualitas hidup masyarakat serta kurangnya prasarana dan sarana untuk
menunjang kesejahteraan masyarakat. Perbandingan relatif tingkat daya saing
antar wilayah tersebut; berdasarkan 3
(tiga) variabel yaitu tingkat perekonomian daerah, ketersediaan infrastruktur
dan sumber daya alam, serta ketersediaan
dan kualitas sumber daya manusia; dilakukan untuk melihat sejauh mana
daerah-daerah tersebut memiliki keunggulan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
dalam pengembangan wilayah. Dan salah satu variabel yang terus menerus mendapat
sorotan karena pemenuhannya selalu bermasalah adalah ketersedian infrastruktur.
Padahal gerbang ASEAN Economy Community
(AEC) 2015 akan segera dibuka.
Tuntutan bagi
setiap wilayah di Indonesia untuk meningkatkan daya saing masing-masing
wilayahnya saat AEC 2015 sangatlah penting, dimana tingginya daya saing antar
wilayah di Indonesia secara keseluruhan merupakan “ujung tombak” bagi
peningkatan daya saing nasional di tengah tingginya tuntutan untuk dapat
bersaing secara global. Sekarang pertanyaannya, Apakah Indoensia sudah siap
untuk menyambut AEC 2015? Jika kita harus memilih, sebaiknya AEC diundur sampai
waktu yang tidak ditentukan, tapi apakah jawaban tersebut adalah yang paling
tepat? Mau tidak mau kita sendiri yang harus menyiapkan diri untuk menyambut
AEC 2015.
Laporan WEF dalam “Global Competitiveness Report” tahun 2012-2013 menunjukkan bahwa
posisi daya saing Indonesia berada di peringkat 38 dari 148 negara yang
disurvey. Setelah tiga tahun mengalami penurunan, Indonesia kembali melompat
dan tercatat sebagai salah satu pertumbuhan terbesar tahun 2013, pada periode
sebelumnya, Indonesia menempati peringkat ke 50.
Meski
menunjukkan kenaikan peringkat yang signifikan, Indonesia dinilai masih kurang
memiliki daya saing dibandingkan negara-negara berkembang lainnnya. Bahkan
posisi Indonesia masih ada di bawah beberapa negara sekawasan, seperti Thailand
di posisi 37, Brunai Darussalam posisi 26 dan Malaysia ke-24. Bahkan Singapura
bertahan di posisi dua. Indonesia hanya lebih baik dari Filipina yang berada di
urutan 59 dan Vietnam ke-70. Mengapa bisa terjadi? Jika melihat daya saing
Indonesia di mata dunia, posisi Indonesia masih belum aman karena masih banyak
sektor yang patut di selesaikan, salah satunya infrastruktur.
Dari penilaian
indeks daya saing, peringkat daya saing Indonesia terlihat paling anjlok salah
satunya di sektor pembinaan jasa konstruksi, yaitu infrastruktur. Daya saing
infrastruktur Indonesia pada tahun 2013 menempati peringkat 61 dari 144 negara,
sementara pada tahun sebelumnya, World
Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia pada peringkat 78. “Prestasi ini
membanggakan, namun yang patut diperhatikan bahwa peringkat Infrastruktur di
angka ‘61’ sedangkan daya saing di ‘38’, berarti infrastruktur masih belum
maksimal untuk mendukung sektor yang lain. Jika melihat daya saing Indonesia di
mata dunia, posisi Indonesia masih belum aman karena masih banyak sektor yang
patut di selesaikan, salah satunya infrastruktur.
Memang, infrastruktur
bukanlah masalah paling utama, tapi hal tersebut telah menjadi salah satu
penyebab utama kurangnya daya saing Indonesia di mata dunia. Mengingat dari
tahun ke tahun, tingkat persaingan antar negara semakin tinggi sebagai dampak
dari munculnya fenomena globalisasi. Globalisasi ini mencerminkan tantangan
sekaligus kesempatan, dimana semakin tingginya tingkat persaingan antar negara.
Masalah
infrastruktur di Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat banyak,
sehingga perlunya pembenahan dan penambahan yang sangat panjang. Dan yang
paling terlihat adalah persebaran infrastruktur yang tidak merata antara di
Pulau Jawa dengan wilayah-wilayah yang ada di luar Pulau Jawa.
Kondisi
persebaran infrastrruktur di Indonesia juga terjadi kesenjangan. Pembangunan
infrastruktur terlalu terpusat di pulau Jawa sehingga pemerintah terkesan
meng-anakemaskan Pulau Jawa dalam pengembangan wilayah, padahal pulau Jawa
hanyalah sekitar 7 persen dari keseluruhan luas Indonesia, sehingga yang
memiliki daya saing hanyalah wilayah-wilayah yang ada di Pulau Jawa.
Dari
segi kualitas, infrastruktur di Indonesai termasuk slah satu yang terjelek di
Asia. Di antara negara-negara se-Asia, kualitas infrastruktur di Indonesia
menjadi terendah kedua; hanya lebih baik dari Filipina.
Mengutip
laporan WEF mengenai kualitas infrastruktur pada 2012-2013, kualitas
infrastruktur Indonesia hanya memperoleh nilai peringkat 92. Nilai itu
dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur berupa kondisi jalan, rel kereta api,
pelabuhan, bandara, dan listrik.
Dari skor tertinggi 7 poin,
Indonesia hanya memperoleh nilai 3,4 untuk jalan; 3,2, untuk rel kereta api;
pelabuhan (3,6), bandara (4,2), dan listrik (3,9). Rata-rata nilai tersebut
hanya 3,7. Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dengan ranking 98. Di atas
Indonesia, kualitas infrastruktur India, China, Thailand, Malaysia, dan
Singapura memiliki peringkat yang tinggi. India memiliki peringkat ke-87, China
ke-69, Thailand ke-49, Malaysia ke-29, dan Singapura ke-2.
Dibanding
laporan pada 2011-2012, peringkat kualitas infrastruktur Indonesia cenderung
menurun. Sebelumnya, Indonesia masih di peringkat ke-82, sementara Filipina
masih di peringkat ke-113, India ke-86, China ke-69, Thailand ke-47, Malaysia
ke-23, dan Singapura tetap di peringkat ke-2. Peringkat tersebut bisa dijadikan
acuan kita bagaimana pembangunan infrastruktur di Indonesia masih belum
maksimal.
Mari
kita tengok sekilas pertumbuhan infrastuktur di Papua. Untuk hal fasilitas wajib
yang seharusnya ada untuk mereka, seperti fasilitas pendidikan, masih ada dari
wilayah di Papua yang belum merasakan. Kebanyakan dari mereka menggunakan
fasilitas seadanya guna untuk menimba ilmu. Belum lagi saudara-sadara kita yang
hidup di pelosok-pelosok. Mereka bahkan tak tersentuh teknologi. Ada juga yang
lebih tragis lagi adalah persebaran dan infrastruktur di daerah perbatasan.
Banyak saudara kita yang di perbatasan tidak tersentuh fasilitas yang
disediakan negara. Padahal seharusnya daerah-daerah perbatasan, bila
diibaratkan sebuah rumah, daerah tersebut adalah terasnya. Dan biasanya bila
terasnya saja sudah terlihat tidak terawat, bisa menggambarkan bagaimana dalam
rumahnya.
Hal tersebut
seharusnya bisa menjadi cambuk bagi pemerintah yang harus menggenjot
pembangunan dan pemerataan infrastruktur di tiap wilayah di Indonnesia, sehingga
kedepannya daya saing wilayah tidak hanya terpusat di Pulau Jawa yang
diharapkan kedepannya bisa meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat Dunia,
minimal bisa berbuat banyak saat AEC 2015 karena infrastruktur merupakan salah
satu faktor utama untuk menopang gerak perkembangan sektor-sektor lainnya.
Comments
Post a Comment